Langsungaja, ngak pake lama, mudah2an tidak :repost dan :salahkamar Ane mau share mengenai 13 Puisi Terbaik Chairil Anwar sepanjang masa. Semoga bermanfaat, menghibur dan menambah wawasan. :D Chairil Anwar (1922 - 1949), dijuluki sebagai "Si Binatang Jalang" (dari karyanya yang berjudul Aku), adalah penyair terkemuka Indonesia.
ChairilAnwar (lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922 - wafat di Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun) atau dikenal sebagai "Si Binatang Jalang". (dalam karyanya berjudul Aku [2]) adalah penyair terkemuka Indonesia. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 dan puisi modern
TIMESINDONESIA JAKARTA - Sejarah hari ini akan mengulas singkat sosok penyair Chairil Anwar, yang tanggal kematiannya pada 28 April ditetapkan sebagai Hari Puisi Nasional.Si Binatang Jalang" (dari karyanya yang berjudul Aku) ini, banyak menelurkan karya besar, termasuk membawa warna dalam dunia sastra di Indonesia.
Mulaidengan puisi yang menyangkut dengan kematian, pemberontakan, individualisme dan masih banyak lainnya. Kumpulan Puisi Chairil Anwar Mau tahu seperti apa kumpulan puisi Chairil Anwar? Yuk langsung saja simak selengkapnya di bawah ini. #1. AKU BERKACA.. Ini muka penuh luka Siapa punya? Ku dengar seru menderu Dalam hatiku Apa hanya angin lalu?
ChairilAnwar juga membuat tema puisi selain kematian, tema puisi yang dibuat oleh Chairil Anwar selanjutnya bertema Pemberontakan, Individualisme dan eksistensialisme. Kehidupan Cinta. Chairil Anwar tidak hanya berkarir dalam dunia tulis menulis dan membuat puisi saja. Beliau juga seorang penyiar radio Jepang di Jakarta.
Puisiadalah karya sastra yang disajikan dalam bahasa yang indah dan sifatnya imajinatif. Bagi saya, setiap hari adalah puisi. Ketika bumi berputar pada porosnya, saat itulah wajah alam yang ada di bumi menjelma menjadi puisi. Hari Puisi, Hari Chairil Anwar; Hari Puisi, Hari Chairil Anwar. Redaksi SS | 28 April 2022, 05:51 am | 0 comments
CncmHn. - Adakah penyair Indonesia yang lebih ikonis dan lebih inspiratif ketimbang Chairil Anwar?Achdiat Kartamihardja meminjam watak dan pribadi Si Binatang Jalang untuk menghidupkan Anwar, salah seorang tokoh dalam roman Atheis 1949. Arief Budiman menulis skripsi yang kemudian dibukukan, Chairil Anwar Sebuah Pertemuan 1976. Sjuman Djaya mengangkat kisah hidup anak Medan ini ke dalam skenario Aku 1987. Hasan Aspahani merilis Chairil Sebuah Biografi 2016. Lewat Titimangsa Foundation, Happy Salma mementaskan lakon Perempuan-perempuan Chairil 2017. Exan Zen, penulis film—demikian keterangan di mesin pencari—memproduksi Binatang Jalang 2020, sebuah tahun ini, berita soal pemutaran film-puisi Binatang Jalang menjadi pembicaraan orang banyak di media sosial. Penyebabnya, sang sutradara menyelipkan potongan sajak berjudul Cinta dan Benci ke dalam dialog, sedangkan ia mendaku bahwa seluruh dialog dalam film tersebut diambil dari sajak-sajak Chairil. Padahal, jejak digital menunjukkan Cinta dan Benci ditulis Ari Ridho di blog pribadinya 65 tahun setelah Chairil wafat."Di sini, saya tidak bermaksud mempersembahkan karya Chairil Anwar si penyair terkenal tersebut. Karena, itu melanggar hak cipta. Jadi, saya membuat sendiri puisi cinta ini. Meskipun demikian, kumpulan puisi cinta karya saya ini terinspirasi dari puisi-puisi Chairil Anwar. Selamat menikmati. Maaf, bagi yang merasa tertipu," tulis Ari Ridho 11/7/2014.Omong-omong soal "kasus tipu-menipu" macam begitu, Ari Ridho tidak sendiri. Beberapa bulan setelah Chairil wafat, kabar gembira datang majalah Indonesia bakal menerbitkan sajak-sajak Chairil yang belum pernah otentik sajak-sajak itu adalah sebuah map yang selalu dikepit Chairil menjelang kematiannya. Ya, ketika meninggal pada 28 April 1949, tepat hari ini 72 tahun lalu, Chairil meninggalkan 1 ons gula merah, sepasang sepatu dan kaus kaki hitam, selembar uang rupiah, dan satu map berisi bundel-bundel kertas tulisan tangan berisikan warisan itu, sebagaimana ditulis Nasjah Djamin dalam Hari-hari Akhir Si Penyair 2013, sedianya akan diberikan Sam Soeharto kepada Hapsah, istri Chairil. Lantaran perempuan asal Karawang itu tak kunjung datang, Soeharto pun menyerahkan isi map kepada Trisno Sumardjo, redaktur majalah Indonesia. “Dan karena aku juga perlu duit,” kata Soeharto, “dan karena konco-konconya tidak ada perhatian, uang honorarium penerbitannya akan aku paruh-paruh dengan ahli waris yang sah.”Rencana penerbitan sajak Chairil disambut baik S. Soedjojono. Bapak Seni Rupa Modern Indonesia itu bahkan sampai turun tangan membuat ilustrasi sajak Chairil. “Saya tidak sudi bikin vignet-vignet penyair lain, kecuali untuk Chairil,” kata Soedjojono, kedatangan Mulyadi ke kantor Indonesia bikin semuanya berantakan. Ketika orang-orang mengatakan karya Chairil bakal terbit dan Mulyadi melihat-lihat lembaran proefdrukÂ-nya, penyair muda yang sedang panas-panasnya berkarya itu malah terhenyak.“Satu kekeliruan sudah terjadi. Hampir terjadi satu kekonyolan. Sebundel sajak-sajakku hampir saja diterbitkan oleh majalah Indonesia. Terbit, atas nama Chairil Anwar!”Sebelum meninggal, Chairil memang rajin menyambangi para penyair muda, salah satunya Mulyadi, untuk meminta sajak-sajak mereka buat dikumpulkan dalam satu antologi bersama. Menurut Nasjah Djamin hal. 59, agaknya Chairil telah menuliskan kembali sajak-sajak yang dapat dikumpulkan dengan tulisannya sendiri, tanpa menuliskan keterangan, tanpa menuliskan nama penyairnya, atau belum sempat menuliskan nama si penyair pada kepala sajak.“Memang begitulah kebiasaan Chairil. Pada sajak-sajak tulisan tangannya yang berupa saduran atau alihbahasa, kita tidak menemukan nama penyair aslinya.”Lantas, bagaimana nasib Soeharto setelah sajak yang ia berikan kepada Trisno Sumardjo dan vinyet-vinyet yang dibuat khusus oleh S. Soedjojono justru terbit dengan nama Mulyadi?“Kamu mau tipu saya, ha? Jangan banyak bicara. Saya tidak perlu sama tukang tipu,” ucap Soedjojono, hal itu, Nasjah Djamin tertawa saja. “Tertawa, sebab manusia masih sempat tertipu oleh kenakalan Chairil sesudah dia meninggal.” Plagiarisme dan "Cerita Rakyat" Sastra Indonesia Chairil lahir di Medan, 26 Juli 1922. Sejak sajak pertamanya dimuat pada 1942, Nisan, Chairil hanya menulis 70 sajak hingga akhir hayat. Sedangkan seluruh tulisannya berupa sajak saduran, sajak terjemahan, prosa karya sendiri dan terjemahan, menurut Jassin, totalnya berjumlah 94 tidak hanya memublikasikan sajaknya di lembar-lembar kebudayaan, namun juga di majalah yang tidak mementingkan kesusastraan, misalnya Pemandangan, Revolusi Pemuda, Internasional, dan Ipphos Report. Hal itu pula yang membuat Jassin kelabakan mencari karya Chairil yang lain.“Sungguh tidak banyak dalam waktu tujuh tahun, lebih tepat masa-masa kegiatan 6 ½ tahun. Tapi dengan ini terbukti bahwa tidak ada alasan untuk menolak Chairil Anwar seluruhnya,” tulis Jassin dalam bab pendahuluan Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45 1985.Konteks pembicaraan Jassin dan salah satu alasan dirilisnya buku tersebut adalah kasus plagiarisme yang dilakukan Chairil semasa hidupnya. Publik sastra meradang dan kecewa sebab sosok yang mereka elu-elukan sebagai pembaru justru merupakan seorang pencuri—lepas dari fakta bahwa Chairil memang kerap kedapatan mencuri buku maupun barang-barang kepunyaan orang menjelaskan, saat Chairil memublikasikan sajak “Datang Dara Hilang Dara” yang merupakan terjemahan dari sajak penyair Cina Hsu Chih-Mo, beberapa bulan sebelum ia meninggal, hal itu dilakukan karena penyakit Chairil makan ongkos bayar dokter. Sedangkan saat itu majalah-majalah dibanjiri sajak asli sehingga terjemahan jarang diterima—kalaupun diterima, pemuatannya lama dan honornya lebih sedikit ketimbang sajak asli.“Apakah karena plagiat beberapa sajak, semua sajaknya yang asli pun harus dianggap tidak lagi bernilai? Dan apakah karena itu harus dicopot predikat pelopor Angkatan ’45? Ini pertanyaan penting bagi para ahli hukum dan para moralis yang dalam hal ini diharap tidak melupakan faktor manusia dan keadaan,” pungkas dari kasus plagiarisme, nyaris semua tingkah laku Chairil telah menjadi semacam “cerita rakyat” yang terus dirawat dan “dikembangkan” dalam pergaulan sastra di Indonesia. Contohnya, ketika bertemu Heri Djuhaeri, penyair muda asal Majelengka, Ahmad Syubanuddin Alwy spontan melontarkan pernyataan yang menohok.“Heri, namamu tidak cocok jadi penyair. Nama macam itu paling banter menjadi nama kepala perpustakaan daerah,” kata Alwy, penyair asal macam itu bisa dirujuk hingga Chairil. Alkisah, ketika menyambangi kantor redaksi Balai Pustaka, Chairil berlagak bibir menjepit rokok, hidung didongakkan sedemikian rupa, sedangkan pandangannya diedarkan ke wajah-wajah pegawai yang suntuk bekerja. Dalam suasana hening, terdengar suara Chairil nyaring.“Idrus, hey Idrus! Apa namamu itu! Nama kampungan. Idrus, ha Idrus! Pantasnya kau seorang kusir. Namamu itu nama kusir.” Sedangkan kepada Baharudin, ilustrator, Chairil berkata pelan namun meyakinkan. “Bahar. Baharudin! Namamu itu juga nama orang kecil. Nama yang cuma pantas untuk seorang kepala kampung!”Kisah lain soal Chairil yang telah menjadi "warisan" sastra Indonesia bermula dari kebiasaannya menyambangi kompleks pelacuran. Di kemudian hari, rayuan para pekerja seks komersial itu sukses mengilhami Chairil membuat seruan monumental zaman revolusi “Bung, ayo bung!” Infografik Mozaik Chairil Anwar. seniman—Chairil sudah memantapkan pilihannya menjadi seniman sejak usia 15 tahun—pelopor Angkatan 45 ini tergolong pembaca yang rakus. Ia bisa bicara panjang lebar soal seni rupa dan teater, dengan pemahaman sama baik terhadap puisi dan sastra. Konon, lantaran keterampilan semacam itu tidak dimiliki seniman lain, Chairil dianggap sebagai “Ensiklopedia Bicara” oleh kalangan Chairil terhadap bacaan membuatnya tidak merasa berdosa tiap kali mencuri buku. Bahkan, sebagaimana diketahui orang banyak, ia pernah mengambil Alkitab padahal yang hendak dicurinya adalah buku filsafat. Jika tidak mencuri satu buku utuh, Chairil terbiasa menyobek halaman buku berisi sajak yang ia senangi atau sajak yang akan dia soal menerjemahkan, Chairil memang punya kelebihan. Sejak masih duduk di MULO tidak tamat, Chairil sudah menguasai bahasa Belanda dengan sangat baik. Selanjutnya, ia juga cas cis cus ngomong bahasa Inggris. Kemampuan itu, ditambah tampang Chairil yang putih, membuat Nasjah Djamin mengira bahwa sosok yang pertama kali ditemuinya di sanggar Seniman Muda Indonesia SMI, Yogyakarta, pada 1947 itu merupakan seorang anak Indo-Belanda pro republik.“Setelah meninggalkan sanggar, barulah saya tahu bahwa anak muda kayak Indo yang lincah, gesit, dan dinamis bicaranya itu tidak lain adalah si penyair Chairil Anwar,” kenangnya. Milik Masyarakat Penyair Beni Satryo pernah menyatakan, baginya, keistimewaan sajak-sajak Chairil adalah kemampuannya untuk senantiasa relevan dengan macam-macam suasana hati. “Tiap momen seolah bisa ditemukan quote-nya dalam karya-karya Chairil,” kata Beni. Saat harap-harap cemas lantaran cinta, misalnya, orang akan merasa terwakili oleh larik terakhir "Tuti Arctic" "Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar". Sedangkan saat dirundung putus asa, salah satu larik pada “Derai-derai Cemara” seolah punya fungsi menjadi mantra agar seseorang tidak melulu larut dalam kekalahan “Aku sekarang orangnya bisa tahan”.Dalam “Chairil Anwar Kita” catatan penutup “Aku Ini Binatang Jalang” cetakan kedelapan belas 2007, Sapardi Djoko Damono menyebut beberapa larik puisi Chairil telah menjelma semacam pepatah atau kata-kata mutiara “hidup hanya menunda kekalahan”, “sekali berarti sudah itu mati’, “kami cuma tulang-tulang berserakan”, dan yang paling terkenal “aku ingin hidup seribu tahun lagi”.Menurut Sapardi, kenyataan ini tentu tidak membuktikan bahwa kebanyakan anggota masyarakat kita telah menekuni puisi Chairil Anwar, juga belum menunjukkan bahwa pemahaman dan penghargaan masyarakat kita terhadap sastra telah tinggi.“Namun, setidaknya ia mengungkapkan bahwa beberapa larik puisi Chairil Anwar sudah dianggap menjadi milik masyarakat, bukan lagi milik pribadi penyair itu.” - Humaniora Penulis Zulkifli SongyananEditor Irfan Teguh
Chairil Anwar, pelopor Angkatan 45 yang terkenal dengan puisi Aku dan tanggal wafatnya diperingati sebagai Hari Puisi Nasional di Indonesia. JAKARTA, - Chairil Anwar tergeletak selama 6 hari di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo RSCM Jakarta hingga akhirnya menghembuskan napas terakhir 28 April 1949. Hari ini, 73 tahun yang lalu pujangga pelopor Angkatan 45 itu pergi selamanya. Ia disebut menderita penyakit tifus, pun telah lama menderita penyakit paru-paru dan infeksi sejak usia ke 27 tahun, Chairil dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum TPU Karet Bivak. Tempat yang pernah ia sebutkan dalam puisinya berjudul Yang Terempas dan Yang Putus. Baca juga Patung Chairil Anwar di Malang Akan Ditetapkan Sebagai Cagar Budaya Di Karet, di Karet, sampai juga deru dingin Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datangdan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamutapi kini hanya tangan yang bergerak lantang. Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku. Dinilai sebagai pelopor Berdasarkan buku Chairil Anwar, Hasil Karya dan Pengabdiannya 2009 karya Sri Sutjianingsih di zaman penjajahan Jepang, Chairil dikenal sebagai seorang sastrawan muda yang berani mengemukakan pendapat. Ia tak setuju dengan sikap berbagai sastrawan yang memilih untuk menjadi corong propaganda Jepang dengan bergabung ke Pusat Kebudayaan atau Keimin Bunka Shidoso pada 1943. Chairil menginginkan perubahan besar dalam dunia sastra kala itu. Ia kerap mengkritisi puisi angkatan Pujangga Baru dari sisi semangat dan bentuk. Puisi-puisi Chairil lantas lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia sehari-hari, ketimbang bahasa buku yang kaku. Bentuk irama puisi Chairil jauh dari pantun, syair, atau sajak bebas angkatan Pujangga Baru. Berbagai karyanya menggambarkan cinta, perjuangan dan pemberontakan. Gaya itu dinilai memberikan kebebasan berpikir dalam seni dan budaya, sesuatu yang tidak diberikan Jepang pada kesusastraan juga Puisi Aku Berkaca karya Chairil Anwar Chairil telah membawa pembaruan dunia sastra Indonesia kala itu, mendobrak aturan-aturan yang kaku, ia mau jadi manusia merdeka. Setelah karya-karyanya diterima, sastrawan seumuran Chairil mulai dijuluki dengan berbagai macam istilah seperti Angkatan Sesudah Perang, Angkatan Chairil Anwar, dan Angkatan Kemerdekaan. Baru pada 1948, Rosihan Anwar menyebut para sastrawan itu dengan sebutan Angkatan 45. Menurut Abdul Hadi WM, Chairil juga menamai sastrawan di eranya itu dengan nama yang sama. Perjuangan, kekalahan dan patah hati Chairil menulis berbagai macam puisi dan sajak sejak tahun 1942 hingga 1949. Karena menonjolkan sisi individualisme, karya-karya Chairil banyak menggambarkan tentang kondisi yang ia rasakan seperti perjuangan, kekalahan dan patah hati. Beberapa puisinya yang tenar berjudul Aku, Diponegoro, dan Karawang-Bekasi. Soal perjuangan, Chairil pernah menulis puisi berjudul Perdjandjian Dengan Bung Karno yang ditulisnya tahun 1948. Sedikit isinya sebagai berikut Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin djandjiAku sudah tjukup lama dengar bitjaramudipanggang atas apimu, digarami oleh lautmuDari mulai tgl 17 Agustus 1945Aku melangkah kedepan berada rapat disisimu Baca juga Patung Tokoh di Tiap Penjuru Monas Dari Diponegoro, Kartini, hingga Chairil Anwar Banyak puisi Chairil bicara tentang patah hati. Februari 1943, ditulisnya puisi berjudul Tak Sepadan. Bait terakhir puisinya itu berbunyi Karena kau tidak kan apa-apaAku terpanggang tinggal rangka Jelang kematiannya di tahun 1949, Chairil masih berkarya dengan membuat sajak berjudul Derai Derai Cemara, salah satu barisnya berbunyi Hidup hanya menunda kekalahan. Meski mati muda, Chairil selalu terkenang. Tanggal kepergiannya selalu diperingati sebagai Hari Puisi. Dalam tiap karyanya, Chairil abadi, seperti bunyi salah satu sajaknya Aku mau hidup seribu tahun lagi. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. Tag Puisi Aku Berkaca karya Chairil Anwar 7 Tokoh Asal Medan, dari Chairil Anwar, Burhanuddin Harahap, hingga Joko Anwar Patung Tokoh di Tiap Penjuru Monas Dari Diponegoro, Kartini, hingga Chairil Anwar Biografi Chairil Anwar, "Si Binatang Jalang" Hari Puisi Nasional 28 April Sejarah dan Sosok Chairil Anwar Polemik Puisi Cinta dan Benci yang Disebut Karya Chairil Anwar, Ini Klarifikasi Sutradara Film Binatang Jalang Ramai soal Puisi Cinta dan Benci di Film Binatang Jalang, Bukan Karya Chairil Anwar? Rekomendasi untuk anda Powered by Jixie mencari berita yang dekat dengan preferensi dan pilihan Anda. Kumpulan berita tersebut disajikan sebagai berita pilihan yang lebih sesuai dengan minat Anda.
Medan - Chairil Anwar adalah penyair kelahiran Kota Medan yang menciptakan banyak karya terkenal, khususnya puisi. Sampai akhir hidupnya, beliau yang berjasa dalam dunia sastra pun dikenang melalui peringatan Hari Puisi Nasional setiap tanggal 28 dengan karya puisi yang dibuat oleh tokoh terkemuka Chairil Anwar? Berikut detikSumut sajikan 30 kumpulan karya puisi Chairil Anwar yang menyentuh dan penuh makna. Simak artikel ini hingga akhir, ya, detikers!1. Aku Maret 1943Kalau sampai waktuku 'Ku mau tak seorang'kan merayuTidak juga kauTak perlu sedu sedan ituAku ini binatang jalangDari kumpulannya terbuangBiar peluru menembus kulitkuAku tetap meradang menerjangLuka dan bisa kubawa berlariBerlariHingga hilang pedih periDan aku akan lebih tidak perduliAku mau hidup seribu tahun lagi2. Tak Sepadan Februari 1943Aku kiraBeginilah nanti jadinyaKau kawin, beranak dan berbahagiaSedang aku mengembara serupa sumpahi ErosAku merangkaki dinding butaTak satu juga pintu baik juga kita padamiUnggunan api iniKarena kau tidak 'kan apa apaAku terpanggang tinggal Taman Maret 1943Taman punya kita berduatak lebar luas, kecil sajasatu tak kehilangan lain kau dan aku cukuplahTaman kembangnya tak berpuluh warnaPadang rumputnya tak berbanding permadanihalus lembut dipijak kita bukan taman punya berduaKau kembang, aku kumbangaku kumbang, kau penuh surya taman kitatempat merenggut dari dunia dan 'nusia4. Pelarian Februari 1943ITak tertahan lagiremang miang sengketa di siniDalam lariDihempaskannya pintu keras tak sepi seketikaDan paduan dua kelam ke malamTertawa-meringis malam menerimanyaIni batu baru tercampung dalam gelita"Mau apa? Rayu dan pelupa,Aku ada! Pilih saja!Bujuk dibeli?Atau sungai sunyi?Mari! Mari!Turut saja!"Tak kuasa ...terengkamIa dicengkam Hukum Maret 1943Saban sore ia lalu depan rumahkuDalam baju tebal abu-abuSeorang jerih menangkis jalannya - LesuPucat mukanya - LesuOrang menyebut satu nama jayaMengingat kerjanya dan jasaMelecut supaya terus ini padanyaTapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenagaPekik di angkasa Perwira mudaPagi ini menyinar lain masaNanti, kau dinanti-dimengerti!6. Rumahku April 1943Rumahku dari unggun-timbun sajakKaca jernih dari luar segala nampakKulari dari gedong lebar halamanAku tersesat tak dapat jalanKemah kudirikan ketika senjakalaDi pagi terbang entah ke manaRumahku dari unggun-timbun sajakDi sini aku berbini dan beranakRasanya lama lagi, tapi datangnya datangAku tidak lagi meraih petangBiar berleleran kata manis maduJika menagih yang Kesabaran Maret 1943Aku tak bisa tidurOrang ngomong, anjing nggonggongDunia jauh mengaburKelam mendinding batuDihantam suara bertalu-taluDi sebelahnya api dan abuAku hendak berbicaraSuaraku hilang, tenaga terbangSudah! tidak jadi apa-apa!Ini dunia enggan disapa, ambil perduliKeras membeku air kaliDan hidup bukan hidup lagiKuulangi yang dulu kembaliSambil bertutup telinga, berpicing mataMenunggu reda yang mesti tiba8. Sendiri Februari 1943Hidupnya tambah sepi, tambah hampaMalam apa lagiIa memekik ngeriDicekik kesunyian kamarnyaIa membenci. Dirinya dari segalaYang minta perempuan untuk kawannyaBahaya dari tiap sudut. Mendekat jugaDalam ketakutan-menanti ia menyebut satu namaTerkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?Ah! Lemah lesu ia tersedu Ibu! Ibu!9. Suara Malam Februari 1943Dunia badai dan topanManusia mengingatkan "Kebakaran di Hutan"*Jadi ke manaUntuk damai dan reda? kali ini diam kaku sajaDengan ketenangan selama bersatuMengatasi suka dan dukaKekebalan terhadap debu dan tak sedarSeperti kapal pecah di dasar lautanJemu dipukul ombak dalam TiadaDan sekali akan menghadap Allah! Badanku terbakar - segala sudah melewati Pintu tertutup dengan Merdeka Juli 1943Aku mau bebas dari segalaMerdekaJuga dari IdaPernahAku percaya pada sumpah dan cintaMenjadi sumsum dan darahSeharian kukunyah kumamahSedang meradangSegala kurenggutIkut bayangTapi kiniHidupku terlalu tenangSelama tidak antara badaiKalah menangAh! Jiwa yang menggapai-gapaiMengapa kalau beranjak dari siniKucoba dalam Bercerai Juni 1943Kita musti berceraiSebelum kicau murai kita minta pada malam iniBenar belum puas serah-menyerahDarah masih kita minta pada malam musti berceraiBiar surya 'kan menembus oleh malam di perisaiDua benua bakal kesumba jadi putih IDA, mau turut mengaburTidak samudra caya tempatmu Sia-sia Februari 1943Penghabisan kali itu kau datangMembawa karangan kembangMawar merah dan melati putihDarah dan tebarkan depankuSerta pandang yang memastikan itu kita sama termanguSaling bertanya Apakah ini?Cinta? Keduanya tak itu kita hampir Hatiku yang tak mau memberiMampus kau dikoyak koyak Penghidupan Desember 1942Lautan maha dalamMukul dentur selamaNguji tenaga pematang kitaMukul dentur selamaHingga hancur remuk redam Kurnia BahgiaKecil setumpukSia-sia dilindung, sia-sia Nisan Oktober 1942Untuk nenekandaBukan kematian benar menusuk kalbuKeridlaanmu menerima segala tibaTak kutahu setinggi itu atas debudan duka maha tuan Diponegoro Februari 1943Di masa pembangunan iniTuan hidup kembaliDan bara kagum menjadi apiDi depan sekali tuan menantiTak gentar. Lawan banyaknya seratus di kanan, keris di kiriBerselempang semangat yang tak bisa barisan tak bergenderang berpaluKepercayaan tanda berartiSudah itu NegeriMenyediakan di atas menghambaBinasa di atas ditindaSungguhpun dalam ajal baru tercapaiJika hidup harus Ajakan Februari 1943IdaMenembus sudah cayaUdara tebal kabutKaca hitam lumutPecah pencar sekarangDi ruang legah lapangMari ria lagiTujuh belas tahun kembaliBersepeda sama gandenganKita jalani ini jalanRia bahgiaTak acuh apa-apaGembira girangBiar hujan datangKita mandi-basahkan diriTahu pasti sebentar kering Lagu Biasa Maret 1943Di teras rumah makan kami kini berhadapanBaru berkenalan. Cuma berpandanganSungguhpun samudra jiwa sudah selam berselamMasih saja berpandanganDalam lakon pertamaOrkes meningkah dengan "Carmen" mengerling. Ia ketawaDan rumput kering terus menyalaIa berkata. Suaranya nyaring tinggiDarahku terhenti berlariKetika orkes memulai "Ave Maria"Kuseret ia ke Kenangan April 1943Untuk Karinah MoordjonoKadangDi antara jeriji itu itu sajaMereksmi memberi warnaBenda usang dilupaAh! tercebar rasanya diriMembubung tinggi atas kiniSejenakSaja. Halus rapuh ini jalinan kenangHancur hilang belum dipegangTerhentakKembali di itu itu sajaJiwa bertanya; Dari buahHidup kan banyakan jatuh ke tanah?Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia19. Dendam Juli 1943Berdiri tersentakDari mimpi aku bengis dielakAku tegakBulan bersinar sedikit tak nampakTangan meraba ke bawah bantalkuKeris berkarat kugenggam di huluBulan bersinar sedikit tak nampakAku mencariMendadak mati kuhendak berbekas di jariAku mencariDiri tercerai dari hatiBulan bersinar sedikit tak tampak20. Kawanku dan Aku Juni 1943Kepada BohangKami jalan sama. Sudah larutMenembus mengucur kapal-kapal di mengental-pekat. Aku berkata?Kawanku hanya rangka sajaKarena dera mengelucak bertanya jam berapa!Sudah larut sekaliHingga hilang segala maknaDan gerak tak punya Dengan Mirat Januari 1946Kamar ini jadi sarang penghabisanDi malam yang hilang batasAku dan dia hanya menjengkauRakit hitam.'Kan terdamparkahAtau terserahPada putaran pitam?Matamu ungu membatuMasih berdekapankah kami atauMengikut juga bayangan itu?22. Isa November 1943Kepada nasrani sejatiItu TubuhMengucur darahMengucur darahRubuhPatahMendampar tanya aku salah?Kulihat Tubuh mengucur darahAku berkaca dalam darahTerbayang terang di mataMasa bertukar rupa ini segaraMengatup lukaAku bersukaItu TubuhMengucur darahMengucur darah23. Sorga Januari 1946Buat Basuki ResobowoSeperti ibu + nenekku jugaTambah tujuh keturunan yang laluAku minta pula supaya sampai di sorgaYang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susuDan bertabur bidari beribuTapi ada suara menimbang dalam diriku,Nekat mencemooh Bisakah kiranyaBerkering dari kuyup laut biru,Gamitan dari tiap pelabuhan gimana?Lagi siapa bisa mengatakan pastiDi situ memang memang ada bidariSuaranya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya Jati?24. Doa November 1943Kepada pemeluk teguhTuhankuDalam termanguAku masih menyebut namaMuBiar susah sungguh mengingatKau penuh seluruhCayaMu panas suciTinggal kerdip lilin di kelam sunyiTuhankuaku hilang bentukremukTuhanku aku mengembara di negeri asingTuhankudi pintuMu aku mengetukaku tidak bisa berpaling25. Cerita Juni 1943Kepada DarmawidjayaDi pasar baru merekaLalu sudah kesalTak tahu apa dibuatJiwa satu teman lucuDalam hidup, dalam diselimuti tebalSama segala kadang pula dapatIni renggang terus Kita Guyah Lemah Juli 1943Kita guyah lemahSekali tetak tentu rebahSegala erang dan jeritanKita pendam dalam keseharianMari tegak merentakDiri sekeliling kita bentakIni malam purnama akan menembus Dalam Kereta Maret 1944Dalam menebal jendelaSemarang, Solo..., makin dekat sajaMenangkup menyayat mulut dan kereta. Menjengking jiwa,Sayatan terus ke Jangan Kita Disini Berhenti Juli 1943Jangan kita di sini berhentiTuaknya tua, sedikit pulaSedang kita mau berkendi-kendiTerus, terus dulu...!!Ke ruang di mana botol tuak banyak berbarisPelayannya kita dilayani gadis-gadisO, bibir merah, selokan mati pertamaO, hidup, kau masih ketawa??29. Penerimaan Maret 1943Kalau kau mau kuterima kau kembaliDengan sepenuh hatiAku masih tetap sendiriKutahu kau bukan yang dulu lagiBak kembang sari sudah terbagiJangan tunduk! Tentang aku dengan beraniKalau kau mau kuterima kau kembaliUntukku sendiri tapiSedang dengan cermin aku enggan Perhitungan Maret 1943Banyak gores belum terputus sajaSatu rumah kecil putih dengan lampu merah muda cayaLangit bersih cerah dan purnama raya...Sudah itu tempatku tak tentu di pandangan serupa dua klewang bergeseranSudah itu berlepasan dengan sedikit heranHembus kau aku tak perduli, ke Bandung, ke Sukabumi...!?Kini aku meringkih dalam malam itulah 30 kumpulan karya puisi Chairil Anwar yang menyentuh dan penuh makna. Semoga bermanfaat, ya, detikers!Artikel ini ditulis oleh Felicia Gisela Sihite, peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom. Simak Video "Oknum TNI AL Jadi Tersangka Penyelundupan PMI Ilegal di Bintan" [GambasVideo 20detik] nkm/nkm
Puisi Penghidupan Karya Chairil Anwar Penghidupan Lautan maha dalam Mukul dentur selama Nguji tenaga pematang kita Hingga hancur remuk redam Kurnia Bahagia Kecil setumpuk Sia-sia dilindungi, sia-sia dipupuk. Desember, 1942Puisi PenghidupanKarya Chairil AnwarBiodata Chairil AnwarChairil Anwar lahir di Medan, pada tanggal 26 Juli Anwar meninggal dunia di Jakarta, pada tanggal 28 April 1949 pada usia 26 tahun.Chairil Anwar adalah salah satu Sastrawan Angkatan 45.
Bagi kalian yang menggemari karya sastra, khususnya puisi, tentu sudah tahu mengenai sebuah perayaan yang amat bersejarah bagi dunia perpuisian Indonesia. Ya, perayaan itu kemudian dijadikan sebagai momentum bersejarah bagi dunia perpuisian Indonesia, yang dirayakan setiap tanggal 28 April. Lalu ada apa dengan tanggal 28 April dan apa kaitannya dengan peringatan perayaan tersebut? Setiap tanggal 28 April diperingati sebagai Hari Puisi Nasional, adapun asal-usul mengapa tanggal 28 April dijadikan sebagai Hari Puisi Nasional ialah karena bertepatan dengan hari kematian penyair legendaris Indonesia, yakni Chairil Anwar pada 28 April 1949. Sedikit mengenai Chairil Anwar, ia merupakan seorang penyair yang menjadi pelopor Angkatan '45, sebuah angkatan baru bagi kesusastraan Indonesia. Chairil Anwar dilahirkan di Medan pada 22 Juli 1922, dan kemudian merantau ke Jakarta karena kondisi sosial ekonomi. Di Jakarta itulah Chairil Anwar hampir setiap saat bergaul dengan para seniman dan cendekiawan, seperti pelukis Affandi, Sudjojono, HB Jassin kritikus sastra, Rivai Apin, Asrul Sani, dan seorang intelektual bernama Sutan Sjahrir yang merupakan pamannya. Bisa dibilang, intelektualitas serta pandangan Chairil terhadap seni puisi berkembang dan terasah dengan sangat cepatnya ketika beliau tinggal di Jakarta, hal itu dibuktikan dengan lahirnya 70 karya puisi semasa hidupnya. Chairil Anwar kemudian dijadikan sebagai sebuah 'ikon' dalam kesusastraan Indonesia. Hal itu dikarenakan hampir keseluruhan puisi-puisinya mengangkat realitas yang ada dengan menggunakan seni bahasa Indonesia yang melampaui zaman, mengingat pada zaman itu bahasa Indonesia belumlah semaju yang sekarang ini. Chairil Anwar semasa hidupnya banyak mempengaruhi kesusastraan Indonesia, karena kiprahnya yang banyak bergelut dengan kesusastraan Indonesia. Chairil Anwar pernah berkata, "tentu mereka akan mengakuiku sebagai seorang penyair besar tatkala aku sudah mati". Hal itu terbukti benar adanya, karena saat ini bisa dibilang tidak ada yang mengenali Chairil Anwar, meskipun pada zamannya namanyq selalu mendapat kritikan karena puisinya yang tak sesuai standar. Akan tetapi kali ini, siapa yang tak mengenal sosok Chairil Anwar? Setiap kali namanya disebut, pasti yang muncul dalam benak kita ialah seorang penyair besar dengan sebutan legendarisnya yakni Si Binatang Jalang. Pada 28 April 1949, Chairil Anwar menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit CBZ sekarang RS Cipto Mangunkusumo dan dimakamkan di TPU Karet Bivak Jakarta Pusat. Chairil Anwar meninggal di usia 27 tahun, akibat penyakit TBC dan Lever. Sesaat sebelum kematiannya, Chairil Anwar sempat menulis sebuah sajak yang berjudul "Yang Terempas dan Yang Putus", di mana pada larik keempat bait pertama ia mengatakan bahwa sewaktu dirinya meninggal, ia ingin dikuburkan di TPU Karet Bivak. Itu tadi merupakan sedikit ulasan mengenai sejarah hari puisi nasional dan sejarah hidup Chairil Anwar yang menjadi acuan perpuisian Indonesia. Di akhir kalimat saya berharap agar kita semua semakin tertarik untuk mengapresiasi puisi. Sebab, puisi dan umumnya karya sastra merupakan manifestasi dari perkembangan zaman.
puisi kematian chairil anwar